Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Kamis, 27 Oktober 2011

Satu Dunia Tak Akan Pernah Cukup

Oleh : Erna Suminar

“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah,” kata Mahatma Gandhi. Kalimat itu mengingatkan pada cerita yang ditulis oleh Stephen R.Covey dalam buku 7 Habits yang sangat populer:

Pada suatu hari, ada seorang petani miskin menemukan sebutir telur emas yang berkilau di sarang angsa peliharaannya. Pada mulanya ia berpikir ini pasti semacam tipuan. Tetapi ketika ia akan membuangnya, ia berpikir-pikir lagi dan membawanya pulang untuk memeriksanya.

Telur ini ternyata emas murni. Si Petani tidak dapat percaya akan keberuntungannya. Ia semakin tidak percaya ketika pada hari berikutnya pengalaman tersebut berulang kembali. Hari demi hari, ia bangun dan bergegas menuju sarang dan menemukan satu lagi telur emas. Ia menjadi sangat kaya; semua ini kelihatannya seperti mustahil menjadi kenyataan.

Namun ketika ia bertambah kaya, muncul keserakahan. Ia tidak sabar menunggu hari demi hari untuk mendapatkan telur emas tersebut, akhirnya petani memutuskan untuk membunuh sang angsa, dan meraup emas sekaligus. Tidak ada telur emas lagi. Si petani telah menghancurkan angsa yang menghasilkan telur-telur tersebut.


Kisah tersebut menawarkan berbagai tafsir, tentang kepandiran petani, ketidak sabaran dan dapat pula dimaknai tentang sebuah sifat tamak manusia yang tak pernah merasa cukup, namun keserakahannya pula yang kemudian mencelakakan dirinya. Cerita seperti itu mirip-mirip dengan kisah Raja Midas yang tiap yang disentuhnya menjadi emas, dan akhirnya dirinya sendiri yang kemudian celaka dan menjadi patung emas itu sendiri. “Beruntung” apabila yang celaka yang menjadi korban adalah diri sendiri, bagaimana jika keserakahan dan ketamakan itu mencelakakan kehidupan ummat manusia dan bumi kita?

Homo Homini Lupus

Ketamakan manusia telah ada sejak manusia mengawali jejaknya dimuka bumi. Kisah yang paling klasik adalah Habil dan Qabil menjadi salah satu sejarah yang mengawali bagaimana seorang Qabil putra nabi Adam oleh sebab keserakahannya akhirnya membunuh Habil dengan tangannya. Manusia memang cenderung menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus), dan seringkali menjadi korban adalah orang-orang yang paling lemah di masyarakat.

Keserakahan paling sederhana dalam keluarga misalnya adalah rebutan harta warisan. Dalam hukum Islam maupun hukum adat pembagian itu sudah ada tata caranya, namun segala sesuatunya menjadi tidak mudah diselesaikan apabila ada diantara mereka kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan keinginan mendapatkan lebih dari hak mereka. Rebutan harta menjadi masalah yang memecah persaudaraan dan kekerabatan yang justru silaturahmi itu sebenarnya lebih mahal dibandingkan dengan kebendaan itu sendiri.

Sementara keserakahan dalam kehidupan masyarakat, jauh lebih kompleks, ini seringkali berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan keadilan sosial. Tatkala keserakahan menguasai seseorang maka tidak sulit baginya menghisap manusia lainya dibalik motif ekonomi. Akhirnya globalisasi menjadi kalimat yang manis untuk merampok dunia ketiga dalam bentuk liberalisasi pasar dan ekspansi tanpa batas. Perampokan dan penjajahan ekonomi itu begitu halus, tiba-tiba tanpa terasa kita telah digiring dan didikte oleh para raksasa-raksasa ekonomi dunia, mulai dari urusan kecantikan sampai kepada urusan minyak dunia, dimana manusia rela berperang dan menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa manusia lainnya.

Di dunia sekarang, kecantikan seorang perempuan telah di standarisasi oleh pabrik-pabrik pabrik-pabrik kosmetik dan pusat-pusat mode dunia dan berhasil memaku pikiran perempuan untuk menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran. Bahwa hanya perempuan yang cantik yang dihargai di dunia ini. Pabrik-pabrik kosmetik itu dengan kejam meruntuhkan rasa percaya diri perempuan melalui iklan-iklan bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang berkulit putih, wajah bebas keriput dan noda, langsing, berambut lurus dan tidak ubanan. Propaganda itu berhasil menjadikan perempuan sebagai makhluk yang pasif konsumstif yang rela menyerahkah dirinya pada gaya hidup yang diciptakan para industrialis yang diciptakan seolah-olah sebagai prasyarat hidup dalam kekinian.

Perempuan yang berkelebihan uang rela mengeluarkan jutaan rupiah agar langsing, operasi sedot lemak dsb. sekali pun itu membahayakan dirinya. Mereka rela wajahnya terkontaminasi mercury dan menggunakan produk pemutih kulit lainnya, kendati terkadang beresiko rusaknya jaringan kulit. Dan adalah sebuah keniscayaan bahwa di dunia ini tak mungkin menjadi putih, atau berambut lurus semua, ada genetik yang tak bisa diubah yang diabaikan oleh para industrialis untuk kepentingan ekonomi mereka. Sementara uang yang berhamburan untuk membeli zat-zat kimia yang berbahaya ini sebenarnya bisa dialokasikan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan perempuan agar lebih berdaya guna dalam kehidupan atau mencerdaskan dan memberi kehidupan bagi manusia lainnya.

Para industrialis itu terus menciptakan nafsu belanja melalui iklan. Hidup menjadi sebuah perlombaan tikus, seperti bergerak kesana kemari dengan lincah mencari rezeki, bekerja keras namun hanya sekedar mampir dan terus berbelanja, bersenang-senang seolah-olah kesuksesan itu ditandai dengan kemampuan untuk membeli apa saja, walau pun akhirnya sebagian harus terlilit oleh hutang-hutang kartu kredit karena tak mampu membedakan mana asset dan mana liabilities. Manusia semakin sulit menunda kesenangan, mereka lebih suka membayar bunga yang sebenarnya tak perlu mereka bayar terutama untuk barang-barang yang bersifat konsumtif.

Korporasi multinasional terus merambah kemana-mana seperti gurita yang lapar. Mereka alihkan investasi kedunia ketiga dan hasilnya adalah keruksakan lingkungan yang parah, sementara buruh-buruh pabrik tetap merana nasibnya. Bahkan sebuah pabrik sepatu yang berskala internasional bisa membayar jutaan dollar kepada Tiger Woods yang menjadi bintang iklan sepatu tersebut, melebihi upah seluruh buruh pabrik sepatu tersebut di Indonesia dalam satu tahun. 69,4 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh 652 pengusaha, ironisnya jutaan petani di Indonesia hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar. Mau dibawa kemana peta ekonomi Indonesia, tidak jelas. Kita tidak memiliki visi kedepan yang mampu memproteksi ketahanan ekonomi dalam negeri, terutama setelah era perdagangan bebas. Kita bebas mengimpor buah-buahan dari China, dan barang-barang dengan bea impor yang sangat rendah, akhirnya daya saing petani kita dan para pengusaha-pengusaha kecil Indonesia terseok-seok bahkan gulung tikar.

Korporasi multinasional lainnya misalnya Freeport, Newmont, Exxon dan lainnya menjadi salah satucontoh pengerukan kekayaan alam Indonesia. Berpuluh tahun sudah Freeport mengeruk bumi Papua, namun bumi Papua tak beranjak dari keterbelakangan dan kemiskinan. Jangankan pembangunan manusia, infrastruktur pun tak sungguh-sungguh tersentuh. Lantas bumi, air dan kekayaan alam Indonesia milik siapa ?

Pemimpin dan Pembebasan Kemiskinan

Nabi Muhammad adalah orang yang menolak hidup bermegah-megahan. Pada saat Romawi dan Persia telah ada hampir di genggamannya, beliau masih tidur beralaskan pelepah kurma dengan rumah yang sangat sederhana. 

Umar bin Khatab pernah berkisah : Aku menemui Rasulullah yang sedang berbaring diatas tikar. Aku duduk didekatnya dan beliau menurunkan kainnya. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika aku melihat ke ruangan kamar, aku melihat gandum kira-kira sebanyak satu sha’ dan daun penyamak kulit disalah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum disamak. Seketika kedua air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Rasulullah bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai putra Khattab?” Aku menjawab, “ Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis tikar itu telah meninggalkan bekas di pinggangmu dan aku tidak melihat yang lain dari apa yang aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan Kisra (raja Persia) bergelimangkekayaan, sedangkan engkau utusan Allah dan hamba pilihanNya hanya berada di kamar pengasingan seperti ini?” Rasulullah lalu menjawab, “Wahai putra Khattab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?” (H.R. Muslim )

Kehidupan sederhana seorang pemimpin seperti yang dicontohkan nabi berbeda sekali dengan oknum pejabat kita, yang memilih hidup dengan memanfaatkan jabatan dan memperkaya diri dengan kolusi dengan para pengusaha dan menghalalkan jalan apa pun untuk mendapatkan kekayaan. Sementara rakyat miskin masih mendominasi sebagian wajah negeri. Nun di sebuah tempat di NTT sana, orang berkilo-kilometer berjalan hanya untuk mengambil seember air tanpa beralas kaki di cuaca panas dan terik, makan dengan lauk jauh dari standar gizi atau tanpa lauk sama sekali. Di masyarakat kita, masihbanyak orang yang berjuang untuk sekedar makan satu kali dihari itu, dan makan tiga kali sehari merupakan kemewahan. Sementara banyak diantara orang-orang kaya diantara kita bersenang-senang dan memboroskan harta kekayaannya, dan pembebasan kemiskinan seringkali hanya jargon politik dan hanya kata-kata tanpa kesungguhan untuk merealisasikan kesejahteraan untuk rakyat itu sendiri.

Kita rindu sosok pemimpin seperti Muhammad Hatta, pemimpin yang sederhana dengan  pemikiran yang  selalu berorientasi pada rakyat kecil dan lemah. Hatta sangat hati-hati dalam mengelola negara. Ide pembebasan kemiskinan yang menjadikannya memikirkan bumi, kekayaan alam Indonesia untuk kesejahteraan rakyat. Disamping itu Hatta memikirkan agar masyarakat yang miskin dan lemah tetap bisa mengendalikan pasar dengan cara menolong dirinya sendiri melalui usaha bersama yang didasarkan atas asas  kekeluargaan. Dan Hatta menyakini seperti ajaran nabi, bahwa agar jangan sampai harta kekayaan beredar hanya pada orang-orang kaya saja. Oleh sebab itu mengapa Muhammad Hatta begitu mencintai koperasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar