Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Senin, 10 Oktober 2011

Bila Distorsi Pikiran Curiga Itu Menetap


Oleh : Inu Wicaksana


Ia selalu merasa dirinya dimata-matai oleh sekelompok orang, ada sekelompok orang yang ingin mencelakakan dia dan membentuk suatu sindikat yang mengikuti dia kemanapun ia pergi, memasang monitor di pohon di luar kamarnya sehingga ia selalu resah hidupnya, tulis Ny Ls seorang dosen yang mengkonsultasikan adik kandungnya, Rik, 27 tahun, pada rubrik kita ini. Orang tua Rik bercerai sejak 7 tahun lalu dan bapaknya kawin lagi. Rik, meski ikut ibunya, selalu menyalahkan ibunya sebagai penyebab perceraian itu dan mulai menyendiri dari pergaulan. Ia bisa menyelesaikan studinya di fakultas teknik dengan susah payah karena curiga dosen-dosennya.

Rik kemudian bekerja ikut pamannya di Surabaya, tapi disanapun ia merasa ada orang-orang yang memata-matainya dan ingin menjatuhkannya sehingga akhirnya ia tak masuk kerja dan kembali ke rumah ibunya di Jogya. Ny.Ls sendiri setelah selesai kuliah, menikah dan ikut suami sebagai dosen di Jakarta. Rik pun mencoba cari kerja ikut kakaknya di Jakarta. Tapi baru tiga bulan ia bekerja di satu perusahaan mobil, kecurigaan pada rekan-rekan kerjanya muncul kembali.

Dalam pikirannya orang-orang itu tahu permasalahan keluarganya di Jogya dan mereka berusaha menjatuhkannya. Meski kerjanya baik, perusahaan akhirnya mengeluarkannya karena Rik tidak masuk kerja dan kembali ke Jogya tanpa pamit. Ia menganggur saja di rumah, mengisolasi diri karena curiga pada tetangga dan teman-temannya. Rik mengisolasi diri di kamarnya. Sejak dulu ia masih menerima bantuan untuk hidup dari bapaknya meski ia juga membenci bapaknya. Rik tak pernah mau diajak ke psikolog atau psikiater karena ia tak merasa dirinya terganggu dan menurutnya orang-orang disekitarnyalah yang salah dan sakit jiwa.

*****

Bisa dibayangkan betapa repot dan susahnya si ibu dari Rik, dan Ny.Ls sebagai kakak kandungnya, menhadapi adik macam itu. Gangguan mental dan perilaku memang tidak mengancam nyawa, tapi sekali seorang individu terkena seluruh keluarga dan orang-orang disekitar akan menanggungnya, serta jalur hidup individu itu akan langsung berubah. Sebagai seorang sarjana teknik, Rik sudah cukup beruntung bisa bekerja di Surabaya maupun di Jakarta sesuai keahliannya.

Tapi ia terpaksa keluar karena problem kejiwaannya sendiri. Bila seseorang itu bekerja, dimanapun, selalu merasa dimata-matai, dicurigai dan akan dijatuhkan oleh orang-orang disekitarnya, bukankah problemnya pasti terletak pada individu itu sendiri? Tapi Rik tak akan pernah menyadari dan “menerima” hal itu. Ia merasa dirinya tidak apa-apa dan salah selalu manusia disekitarnya.

Ada tiga kemungkinan gangguan kejiwaan yang dialami Rik. Yaitu gangguan kepribadian paranoid, gangguan waham menetap, atau skizofrenia paranoid. Yang pertama merupakan jenis kepribadian pencuriga yang tumbuh sejak masa muda, sekitar 14-15 tahun. Kemudian disebut gangguan bila usia sudah diatas 17 tahun dan telah ada “kekakuan adaptasi” dan “penderitaan subyektif”. Pada Rik rasa curiga dan keyakinan dimata-matai itu timbul perlahan-lahan setelah orang tuanya bercerai, yaitu pada usia dia 20 tahun. Jadi kemungkinan pertama ini bisa disingkirkan.

Untuk kemungkinan kedua, skizofrenia paranoid, disini gangguan perilakunya sangat parah, ada “keruntuhan” fungsi peran dan sosial, selain pikiran selalu curiga juga ada pikiran-pikiran aneh (bizare), halusinasi pendengaran berupa suara-suara orang-orang yang mengomentari dirinya atau mengancam, dan pemicaraan yang sering kacau tanpa ujung pangkal. 
Kemunduran (regresi) dalam fungsi peran dan sosial jelas sehingga individu jelas tak bisa bekerja lagi dan bersosialisasi.

Pada Rik tidak demikian halnya. Ia tidak mempunyai halusinasi, hanya pikiran curiga dan merasa diawasi yang sistematis dan seakan “logis” yang menyebabkannya bentrok dengan lingkungan kerjanya, pindah pekerjaan dan akhirnya berhenti. Sesungguhnya ia masih mampu bekerja dan melakukan hubungan sosial dengan baik asal “distorsi” pikiran curiganya tidak menguat.

Jadi kemungkinan besar Rik mengalami gangguan waham menetap, yang jaman dulu dikenal sebagai “psikosis paranoid” atau “paranoia”. Meski penyebab utama gangguan adalah “ketidakseimbangan senyawa neurokimiawi otak” yang disebut neurotransmitter tapi orang pasti akan mencari komponen penencetus psikologisnya. Baiklah. Sebagai penvetus pastilah perceraian orang tua itu. Ego “Ideal” Rik adalah kedua orang tua yang menyayangi dan mengayomi dia dalam satu keluarga yang penuh cinta kasih dan utuh.

Kenyataannya ( ego alien ) adalah orang tua yang bercerai dan bapak kawin lagi yang berarti menyayangi istri barunya ketimbang dia dan saudara-saudaranya. Ini menimbulkan konflik psikis yang berat. Bila “coping” daya tangkal Rik baik maka mekanisme pertahanan diri yang dipilih akan positif. Rik misalnya, akan menggenjot studinya supaya cepat lulus dengan prestasi tinggi, aktif dalam kegiatan hobi dengan teman-teman sebaya seperti organisasi sosial, jurnalistik, fotografi, pecinta alam,dsb sehingga ia mempunyai teman-teman yang saling mencintai sebagai ganti orang tuanya dalam kegembiraan hobi yang sama.

Tapi “coping” Rik tidak efektif, mekanisme pertahanan diri yang dipilih yang negatif. Ia memproyeksikan konfliknya keluar, dalam bentuk “distorsi” pikiran atau waham bahwa selalu ada orang-orang diluar yang bersekongkel untuk mencelakainya.
Waham atau “distorsi” pikiran yang menetap itu sangat merugikan Rik, karena ia akan terhambat berat dalam beradaptasi sosial dan bekerja dengan baik. Bila ada “tokoh” terpercaya yang bisa menyadarkan dan menasehati dia, siapapun dia, alangkah baiknya.

Tapi bila tidak ada, Ny.Ls dan ibu Rik, harus sekuat tenaga membujuk Rik ke praktek psikiatri, dimanapun berada. Untuk sedikit mengurangi “kekerasan waham sistematis” Rik dan “melunakkan” hatinya, psikiater akan memberikan obat antpsikotik bentuk tetes yang tidak berwarna dan berasa yang bisa diam-diam diteteskan diminumannya oleh ibunya. Bila pikirannya mulai jernih dan santai, Rik bisa diajak ke psikiater.

Terapi berbentuk wawancara tatap muka dan terapi perilaku tak akan banyak bermanfaat untuk kasus gangguan waham menetap ini, bila tidak dibarengi obat antipsikotik (anti waham) yang tepat. Obat anti psikotik, yang klasik maupun yang baru, akan memperbaiki neurotransmitter di otak bagaikan “peluru terakhir” yang akan menghancurkan “distorsi” pikiran menetap itu. Bila itu semua tidak dikerjakan maka kita semua hanya akan melihat sesosok individu cerdas yang selamanya meringkuk menyiksa diri dalam kamar dalam suatu kisah sedih yang tak pernah berakhir.****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar