Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Kamis, 06 Oktober 2011

Rahasia Pebisnis Sukses Itu Kematian


Hari ini, Kamis 6 Oktober 2011, Steve Jobs meninggal dunia. Steve Jobs adalah salah satu pendiri dan sekaligus pemilik Apple Inc, yang baru saja merilis produk terbaru iPhone 4S. Berikut kami posting tulisan Abdul Muaz tentang Steve Jobs.

********

Ia pengusaha dunia ternama. Dan kematian adalah guru bisnisnya. Sesuatu yang gelap itu ternyata salah satu inspirasinya. Bukan ilmu manajemen, bukan pula seminar-seminar motivasi bisnis, apalagi sejumlah seminar entrepreneurship yang selalu marak.

Riwayat pendidikannya? Sungguh malang. Pengusaha yang kini berusia 56 tahun itu hanya mengenyam bangku kuliah pada semester pertama di sebuah universitas di negeri Abang Sam, USA. Ia drop-out [keluar] dari kampusnya, Reed College, Ortega. Ia memilih mempelajari dan mengerjakan apa yang ia sukai sendiri. Dan ia sukses, dan ia menjadi ikon dunia.

Ia, tak lain, adalah Steve Jobs, CEO Apple Inc., sebuah perusahaan komputer terkemuka yang logonya sebuah apel gerowak. Nah, salah satu inspirasi terbesar yang membuat dirinya di puncak kesuksesan adalah kematian. Agar Anda tidak penasaran, mari saya kutipkan kunci suksesnya itu.


“Ketika saya berumur 17 tahun, saya pernah membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: ‘Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.’ Ungkapan itu begitu membekas di dalam diri saya. Semenjak itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin di setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: ‘Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?’ 

Bila jawabanya selalu ‘tidak’ dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah. Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu—semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal—tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa.” [Dinukil dari ceramah Steve Jobs saat wisuda mahasiswa Universitas Stanford, Amerika Serikat, 12 Juni 2005. Sumber: www.lenterajiwa.com]

Saat pertama kali membaca tulisan ini, saya sempat tercenung sendirian. Saya shock oleh prinsipnya. Begitu dalam, “religius” dan “Islami”. Bahkan, menurut saya, barangkali lebih “Islami” ketimbang orang muslim sendiri. Ya, ia sejatinya mengamalkan nilai-nilai hakiki yang di dalam Islam selalu diwanti-wanti itu: mengingat kematian. Allah swt, misalnya, menyinggung dalam beberapa ayat, antara lain; “Katakanlah, kematian yang kalian hindari itu pasti menemui kalian” [QS. Al-Jumu’ah (62): 8]; “Dimana pun kalian berada, kematian pasti mengejar kalian, sekalipun kalian berada di puncak benteng yang kokoh” [QS. An-Nisa (4): 78]; “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati [pula]” [QS. Al-Zumar (39): 30] dan ayat-ayat lainnya. 

Nabi Muhammad saw sendiri, saat ajal akan menjemputnya, pernah berpesan kepada para sahabatnya: “Aku tinggalkan kepada kalian dua guru: yang satu berbicara, yang lainnya bisu. Guru yang berbicara adalah al-Qur’an dan guru yang bisa adalah kematian.”Dalam hadits lain, beliau juga bersabda: “Sering-seringlah kalian mengingat pemutus segala kenikmatan.”

Pun, bukankah begitu banyak buku sufisme membahas soal kematian? Betapa banyak para sufi—juga ulama-ulama shaleh—yang menyerap hikmah darinya dan kemudian berusaha menjadi hamba terbaik karenanya. “Aku mati sebagai binatang dan kini menjadi manusia. Suatu hari nanti, aku akan mati sebagai manusia.” Begitu ucap sufi Jalaluddin Rumi. “Ingatlah maut dan kejadian setelahnya. Karena tak seorang pun terbebas darinya.” Begitu kata Hafizh Al-Hakami. “Ya Allah, kepada-Mu aku berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia.” Demikian doa Ali Zayn al-‘Abidin. Dan petuah-petuah lainnya yang tak mungkin kami sebutkan satu-persatu.

Steve Jobs itu bukan seorang muslim, namun ia menyerap begitu dalam ‘jurus’ kematian sebagai sumber energi kreatif dan produktifnya dalam berwirausaha selama berpuluh-puluh tahun di sepanjang karirnya. Ia berusaha menyuguhkan laku terbaik selama hidupnya untuk berguna, karena ia sadar akan mati; ia sadar kelak tak akan lagi memiliki apa-apa. Prinsipnya itu barangkali bukan berlandaskan motif “religi”, atas nama agama yang dianutnya. Kendati demikian, ia begitu teguh menjadikan kematian sebagai rahasia suksesnya menjalani hidup.

Perbedaanya dengan kita atau sebagian kita, yang kerap mengaku muslim,menganggap kematian hanya seputar perbincangan dan laku ritualistik semata. Kematian lebih kepada hal-hal eskatologis; perkara ghaib, perkara surga-neraka, dan sejenisnya. Sebagian kita mengingat kematian bukan sebagai motivasi hidup kreatif dan produktif; bukan untuk mengerjakan laku-laku terbaik secara maksimal karena khawatir esok hari akan meninggal; bukan untuk menjalani pekerjaan atau usaha yang baik dan terbaik karena esok hari belum tentu masih bisa bernafas.

Padahal, kalau seorang muslim mencoba menerapkan prinsip serupa yang diyakini Steve Jobs di atas, ia bisa jadi bakal lebih dari sekadar pengusaha kelahiran California itu; si muslim mendapatkan nilai surplus dari-Nya. Ia, sebagaimana dijanjikan Allah swt, akan mendapatkan poin plus dan reward tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Tengok saja QS. Al-Mulk, ayat 2, yang bunyinya begini: “Dia ciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang laku perbuatanya paling bagus.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar