Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Minggu, 23 Oktober 2011

Orang Jepang Tak Bisa Bilang “Tidak”


Oleh : Junanto Herdiawan



Tinggal di Jepang membuat saya belajar banyak tentang aspek-aspek personal dan kultural dari masyarakat Jepang. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah adanya kemiripan budaya antara orang Jepang dan orang Jawa. Saya kerap berkata pada teman-teman Jepang bahwa “Japanese are like Javanese”.

Tentu kemiripan yang saya cermati ini berlaku terbatas dari pengamatan sehari-hari. Bukan dilandasi oleh kajian mendalam tentang antropologi, sosiologi, maupun riset ilmiah lainnya. Namun, seperti yang diajarkan oleh salah satu dosen saya, Romo Magnis Suseno, pencermatan saya lebih dilatarbelakangi oleh konsep etika yang nampak dalam keseharian.

Orang Jepang dan orang Jawa memiliki nilai, etika, dan budaya yang mirip di beberapa aspek. Hal tersebut mungkin ditentukan pula oleh aspek geografis (geographical determinism) Jepang dan Jawa yang hampir sama. Dahulu, masyarakat Jepang dan Jawa adalah masyarakat pertanian. Mereka tinggal di wilayah kepulauan yang kontur tanahnya sama, didominasi oleh sawah dan pegunungan.

Dengan latar belakang tersebut, masyarakat Jawa dan Jepang dituntut untuk mampu hidup bersama dan bekerja secara harmonis antara satu dan lainnya. Prinsip yang berkembang kemudian adalah prinsip “kerukunan”. Menanam padi misalnya, tak akan bisa berhasil tanpa kerjasama dan kerukunan dari seluruh elemen yang ada desa. Dalam masyarakat itu, sifat menyakiti orang lain, akan merugikan diri mereka sendiri dan sejauh mungkin dihindari.

Hal yang menonjol dari masyarakat Jepang adalah konsep “harmonis” atau “Wa”. Dalam komunitasnya, orang Jepang sangat menjaga keharmonisan di antara mereka. Kalau ada orang yang mengganggu keharmonisan, terancam diasingkan dari lingkungan.

Dalam ajaran Jawa, sebenarnya sama. Kerukunan adalah prinsip utama yang dijunjung tinggi. Kebetulan ayah saya berasal dari Solo, Jawa Tengah. Sejak kecil saya merasakan bagaimana nilai-nilai Jawa tentang kerukunan ini diajarkan oleh beliau.

Hampir semua orang tua di Jawa, baik ayah, mbah kakung, mbah buyut, kalau memberi wejangan selalu bertema kerukunan. Mereka selalu berpesan pada saya, “Sing rukun nek karo sedulur” (yang rukun, atau jagalah kerukunan dengan saudara).

Rukun dalam pemahaman Jawa adalah sebuah keadaan damai satu sama lain, tanpa perselisihan dan pertentangan. Di sisi lain, rukun juga punya makna aktif, yaitu adanya usaha terus menerus dari kita untuk tetap bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur yang menimbulkan perselisihan. Lebih utamanya, rukun mengandung makna pada “pencegahan konflik”. Dalam buku Etika Jawa, Romo Magnis mengutip Hildred Geerts yang menyebut keadaan rukun dengan istilah “harmonious social appearances”.

Dari konsep “Rukun” di Jawa, dan “Wa” di Jepang, saya melihat fenomena menarik saat bersinggungan dengan orang Jepang, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam berbisnis. Orang Jepang secara umum sangat menghindari terjadinya konflik atau perbedaan pendapat yang mengemuka. 
Mereka hampir tidak mau dan bisa berkata “Tidak”, meskipun tak senang atau tak setuju dengan pendapat kita. Penolakan adalah hal yang kurang menyenangkan, oleh karenanya harus dibungkus serapi-rapinya saat ingin menolak sesuatu.

Dari pengalaman saya berinteraksi dengan orang-orang Jepang, hampir tidak pernah saya mendengar kata “tidak” atau “penolakan” secara langsung kepada saya.

Menurut T. Morimoto dalam bukunya “Nihongo omote to ura” (1998) atau “Kepura-puraan dan kebenaran dalam Bahasa Jepang”, bahwa orang Jepang menganggap keterusterangan adalah tidak sopan. Oleh karenanya, mereka memegang prinsip “Aimai” atau “Ambiguitas” untuk menutupi keinginan secara sopan.

Orang Jepang berupaya menutupi keinginan mereka dengan harapan lawan bicaranya memahami apa yang dimaksud. Lantas bagaimana cara kita mengetahui keinginan sebenarnya dari orang Jepang? Hal ini terus terang tidak mudah. Namun kita dapat melihat dari beberapa indikasi, seperti pilihan kalimat atau ekspresi tubuh mereka. Biasanya orang Jepang akan mengatakan “chotto”, “demo”, “kangaete-okune”, dan beberapa kata lainnya, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, seperti “enggh”, “Namun demikian” atau kalimat berputar lainnya.

Kita juga harus mampu membaca arti kata “Ya” yang dikatakan oleh orang Jepang. “ii desu yo”, arti literalnya adalah “Ya” atau “Baik”. Tapi dari pengucapan dan bahasa tubuh mereka, kita bisa mengetahui apakah “ii desu yo” itu maknanya “Ya” atau “Tidak”.

Satu ekspresi lain yang kerap membingungkan adalah kata “maa-maa”, yang artinya kalau dalam bahasa Indonesia seperti “lumayan”, atau “ya gitu deh”. Ekspresi “lumayan” sebenarnya memiliki ambiguitas yang tinggi. Kalau kita tanya, “Bagaimana ujiannya, bisa atau tidak?” jawaban umum adalah “lumayan”. Dalam kultur Jepang, sebagaimana kultur Jawa, menjawab, “Ya, saya bisa”, bisa diartikan terlalu percaya diri dan sombong.

Ungkapan tidak langsung ini disebabkan karena orang Jepang sangat menghargai persahabatan. Mereka menghindari ekspresi ketidaksetujuan secara langsung karena takut mengganggu kerukunan dan keharmonisan. Akibatnya, ketidakjelasan kerap muncul dalam pergaulan kita dengan orang Jepang.

Selain itu, saat saya kecil, saya juga diajarkan oleh ayah saya untuk selalu berhati-hati dalam situasi saat kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Suatu permintaan tidak boleh langsung ditolak secara impulsif dan emosional. Persis seperti yang ditulis dalam Etika Jawa, jawaban yang tepat dalam tradisi Jawa adalah suatu “inggih” (Ya) yang sopan. Jangan pernah berkata “Mboten” atau “Tidak”.

Lalu bagaimana orang lain bisa mengerti kalau kita bermaksud menolak? Penjelasannya agak sulit dimengerti. Itu diserahkan pada kehalusan perasaan orang lain yang meminta, untuk menemukan apakah “inggih” kita merupakan suatu persetujuan, suatu tanda bahwa kita mendengar namun tidak bisa dipenuhi, atau bahkan suatu penolakan yang tersembunyi.

Ayah saya adalah tipikal orang Jawa yang seperti itu. Persis seperti kebanyakan orang-orang Jepang yang saya temui dalam berbisnis. Kalau saya meminta sesuatu, ayah tak pernah menolak atau berkata “tidak”. Semuanya dijawab “iya”. Namun dari “Iya” yang disampaikan, saya bisa memahami apa yang dimaksud.

Dalam bahasa surat menyurat, orang Jepang juga menganut budaya “aimai” yang sama. Penolakan tak pernah disampaikan secara langsung namun dibungkus dalam sebuah ambiguitas.

Beberapa kali saya dimintai bantuan oleh rekan-rekan di Indonesia untuk bisa berkunjung ke suatu perusahaan di Jepang. Kita mengirim surat meminta waktu agar mereka mau menerima kunjungan kita. Dari surat balasan yang dikirim, hampir seluruhnya menyambut baik dan menerima kedatangan kita. 
Namun kalau kita cermati kata-katanya lebih dalam, makna kata “menerima” dalam surat tersebut belum tentu mau “menerima” dalam arti sebenarnya. Di sini, dituntut kehalusan kita dalam menangkap makna.

Komplikasi dan kerumitan budaya “Aimai” orang Jepang ini kerap sulit dimengerti banyak orang. Apalagi kalau orang tersebut dibesarkan dan dididik dalam kultur keterbukaan dan keterusterangan.

Budaya tak bisa berkata “tidak” dan sikap “aimai” yang penuh keragu-raguan tersebut menjadi rintangan terbesar dalam berkomunikasi dengan orang Jepang. Di satu sisi, orang Jepang memang perlu untuk lebih terbuka dalam menyampaikan sikap penolakan mereka. Tapi di sisi lain, kita juga dituntut untuk dapat memahami budaya dan kultur orang lain yang berbeda dengan kita, termasuk budaya “ambigu” dari orang Jepang.

Mudah-mudahan, dengan memahami berbagai aspek sosiologi dan antropologi sekilas tersebut, kita dapat memahami mengapa orang Jepang tak bisa berkata “Tidak”, atau setidaknya bisa membaca makna tersirat dari berbagai hal yang disampaikan orang Jepang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar