Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Dahsyatnya Efek Pujian


Oleh : Laura Khalida



Setiap manusia pasti senang dipuji, disanjung, dan dihargai. Tandanya eksistensinya diakui dan disenangi. Namun tak semua manusia beruntung mengalami masa kecil yang penuh pujian dari orangtuanya (tentu pujian yang berimbang dengan kritik membangun). Biasanya pribadi yang begini, besarnya menjadi tidak ekspresif dalam mengungkapkan perasaan, atau bahkan tidak bisa memuji/menghargai orang lain, lebih parah lagi kalau dia sendiri jadi bingung bagaimana merespon pujian.

Contohnya Mike Tyson. Pada suatu acara Oprah di Metro TV, Tyson tampil berbeda dari Tyson yang lalu. Dia menyesali perbuatan masa lalunya yang penuh kekerasan dan perbuatan pelecehan seksualnya dulu. Sayang saya nggak nonton episode pertama, namun di episode kedua itu, Oprah kembali mengundang Tyson tampil atas permintaan Hollyfield, yup petinju yang pernah digigit telinganya oleh Tyson. Mereka tampil damai di acara itu, saling mencurahkan perasaan masing-masing.


Selain itu, Oprah memberitahukan beragam respon pemirsa atas kehadiran Tyson di episode pertama. Banyak yang mencibir, tapi tak sedikit yang memuji, iba, menjadi respek, dan mau memberikan Tyson kesempatan.
“Melihat Tyson di acaramu, aku pikir dia layak dapat kesempatan kedua, mengingat masa kecil yang dilaluinya amat keras,” imel seorang pemirsa.

Ada pula seorang ayah yang tergugah melihat Tyson tanpa malu-malu menitikkan air mata ketika menceritakan putrinya yang meninggal. Seorang ayah ini pun baru kehilangan anak perempuannya (usia setahun) dan ia selalu memendam perasaan sedihnya, bahkan dengan istrinya sendiri tak pernah membicarakan tentang anak mereka lagi.

“Melihatmu tampil, aku merasa seorang lelakipun tak mengapa untuk menangis. Kita harus terbuka terhadap perasaan kita, jangan dipendam,” intinya begitu.

Tyson yang tak pernah menerima pujian sejak kecil tampak bingung. Tatkala Oprah bertanya,”Banyak yang simpati padamu, bagaimana perasaanmu?”

Berkali-kali Tyson menggelengkan kepalanya dan berkata,”I don’t know…” Lalu ia terdiam, menunduk, menggeleng lagi, karena benar-benar tak mengerti cara merespon pujian.

“Aku tak tahu… Bukan begitu caraku dibesarkan, semua serba keras, berkelahi, bekerja keras…” Ia kebingungan sampai Oprah menenangkan dengan menggenggam tangannya.

Seorang anak yang tak pernah dipuji pun bisa berimbas menjadi pribadi yang minder ketika dewasa. Seorang teman saya yang jago IT tak pernah menganggap dirinya cukup mampu atau berbakat karena tak pernah dipuji oleh orangtuanya. Untunglah ia dapat istri berbasis psikologi yang mampu menaikkan harga dirinya sehingga kini ia tampil lebih percaya diri.

Begitu dahsyat efek pujian karena ia bisa menjadi pintu masuk simpati, pembuka pembicaraan saat hendak mengkritik, atau sebagai pengakuan eksistensi seseorang. Maka janganlah ragu memuji orang-orang terkasih, teman, atau bahkan tulisan Kompasioner yang sudah berusaha meluangkan waktu dan tenaga, dan mau membagi ilmunya. Kalau mau mengkritik atau tidak sependapat ya dengan cara yang baik, tidak langsung menukik atau menghujam. Tapi tentu itu tergantung karakter masing-masing Kompasioner. Kita tidak bisa berharap selalu mendapatkan komentar positif atau rating yang baik, bukan?

Namun tentu saja kita jangan gila pujian karena bisa berefek arogan dan sombong, dahsyat juga kan? Dipuji terus-menerus malah bisa membuat kita menjadi pribadi yang merasa “serba bisa” dan merasa tidak perlu belajar lagi. Gawat!

Justru dengan kritik (meski pedas di telinga) bisa mendorong kita untuk instropeksi dan memperbaiki diri. Kritik bisa membangun, apalagi kalau disampaikannya dengan bijak.

Nah, beda lagi kalau ngarep perhatian/pujian dari teman dekat/bos/orang lain. Terkadang kita ingin deh ditanya,”Baru potong rambut ya?” “Eh, selamat ya diet kamu berhasil,” atau “Masakannya enak kok, cuma lain kali garamnya dikurangi ya, pasti lebih enak,” namun tidak mendapatkan itu semua, bagaimana? Ya biar saja. Tidak memuji bukan berarti tidak perhatian (walau bisa jadi dia tak peduli).

Boleh saja kalau di awal kita punya perasaan kesal dan bersungut-sungut,”Kenapa sih dia nggak pernah menghargai upaya gw, salaaah melulu,” atau,”Lagi-lagi kurang, nggak cukup, apa yang gw lakukan selalu ga berhasil mengesankan dirinya,” atau, “Ini orang hatinya beku kali ye, sama sekali ga pernah nanyain perkembangan gw,” dll, tapi kasihan hati kita kalau terlalu lama dikuasai amarah seperti ini.

Tariklah pelajaran dari sana. Merasakan nggak enak diperlakukan demikian, maka jangan ditiru. Merasa nggak nyaman selalu disalahkan atau dikritik dengan tajam, maka belajarlah berkomunikasi dengan benar, agar kawan bicara yang perlu dikritik bisa menerima dengan nyaman dan perubahan yang diinginkan tercapai.

Memang nggak enak kalau forum diskusi sifatnya searah, terlebih kalau kita berada di pihak yang inferior, powerless, level lebih rendah (well sebenarnya label-label itu kita sendiri yang mengijinkannya merasuk ke pikiran kita sehingga merasa tak selevel dengan kawan bicara), mau mendebat, takut disalahkan atau tak cukup bekal rujukan/referensi, mau mengiyakan, tapi tak rela, karena emang tak sependapat. Lantas gimana?

Kalau memang kritikannya benar ya jadikan pemicu buat memperbaiki diri, atau kalau yakin diri sudah benar, ya teguhlah. Tapi tidak usah lantas menjadi debat kusir, hanya membuang energi. Yang terpenting dari semuanya ialah, tarik pelajaran dari pola-pola komunikasi yang tak membuat lawan/kawan bicara merasa tidak nyaman. Berterima kasihlah pada orang-orang yang telah membuat kita tak nyaman akan pola komunikasinya, karena kita bisa banyak belajar untuk TIDAK MENIRUNYA. Itulah hikmahnya.

Tentu saja kita tak bisa memuaskan setiap orang. Belajar dari NLP (Neuro-Lingustic Programme) makna komunikasi berdasarkan respon dari kawan bicara. Maksud kita A tapi ditangkap B, ya itulah maknanya: B. Untuk membuatnya menjadi A, kita dituntut mencari pola komunikasi lain. Jadi tak dikenal istilah gagal, yang ada hanyalah menyesuaikan lagi cara komunikasi agar sesuai dengan tujuan: A.

Jadi, tak ada salahnya kita memuji untuk menyenangkan orang lain, karena kita pun pasti senang bila mendapatkan perlakuan serupa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar