Oleh : Eni Nur Husniyati
Tahun ajaran baru sudah dimulai. Para orangtua kembali disibukkan dengan kegiatan mengantar anaknya ke sekolah atau universitas yang baru bagi putra-putrinya. Dalam kesibukan ini, orangtua senantiasa berharap agar anaknya menjadi orang yang berguna dan lebih memahami kehidupan dengan segala persoalan dan masalahnya. Para orangtua berharap dengan pendidikan, anaknya akan lebih cerdas, bijak, dan memiliki bekal pengetahuan serta keterampilan.
Pendidikan dipandang sebagai ”kawah candra dimuka”, tempat menggembleng anak-anak menjadi pribadi yang baik, berkarakter, dan mampu menyelesaikan masalah dengan bijak. Dalam pandangan Driyarkara (1980), pendidikan dimaksudkan sebagai pemanusiaan manusia. Pendidikan harus membantu manusia agar secara sadar dan sengaja, bertindak sebagai manusia yang tidak hanya memperturutkan insting, tetapi mampu menggunakan nalar dan pertimbangan moral secara proporsional.
Selain itu, pendidikan hendaknya juga dipahami sebagai upaya humanisasi, agar seluruh sikap dan tindakan manusia terdidik benar-benar manusiawi dan semakin memanusiawi. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan manusia agar menjadi makhluk yang memiliki cipta, karya, dan rasa yang manusiawi.
Siswa Juga Manusia….
Untuk mewujudkan pendidikan semacam ini, yang terutama harus dilakukan adalah membangun hubungan yang manusiawi antara guru dan murid. Hubungan guru-murid hendaknya tidak hanya bersifat fungsional, tapi juga melibatkan hubungan personal. Hubungan ini hendaknya bersifat pendampingan yang dialogis dan dinamis. Proses pendampingan ini mengisyaratkan adanya hubungan timbal-balik. Hubungan timbal-balik itu terletak pada sikap saling mengakui sebagai manusia, sebagai pribadi. Pengakuan ini berarti saling menerima kedirian, keberlainan serta keterbatasan masing-masing.
Pengakuan ini juga berarti bahwa pribadi yang satu tidak boleh dilebur ke dalam pribadi yang lainnya: kedirian masing-masing tidak boleh ditelan oleh kebersamaan dan sebaliknya. Pengakuan dalam bentuk saling menerima ini didasarkan atas, serta didorong oleh, perasaan cinta kasih.
Cinta akan menentang kehendak untuk berkuasa mutlak atas diri orang lain, yang didorong oleh sikap kejiwaan yang sadistis. Tujuan sadisme adalah mengubah manusia menjadi benda, mengubah yang berjiwa menjadi sesuatu yang tidak berjiwa, karena dengan adanya pengawasan mutlak dan menyeluruh, maka kehidupan kehilangan salah satu kualitasnya yang sangat mendasar—kebebasan. Sebaliknya, cinta memberi kehidupan, kebebasan, dan menjadikan manusia sebagai manusia.
Sayangnya, lembaga pendidikan selama ini lebih banyak mengabaikan sisi kemanusiaan siswa. Pergulatan batin yang dialami siswa sebagai manusia jarang, atau bahkan tidak pernah, mendapatkan perhatian di lembaga sekolah. Siswa lebih sering ditempatkan sebagai obyek pendidikan, bukan sebagai subyek yang memiliki kehendak dan perasaan yang membutuhkan perhatian tersendiri. Akibatnya, pendidikan lebih memperhatikan bagian luar dari kehidupan siswa, semisal keteraturan, disiplin, dan ketuntasan kurikulum.
Kegiatan sekolah lebih bersifat rutin dan berjalan teratur sesuai irama aturan kurikulum. Keteraturan ini dijamin dengan sistem presensi dan jadwal kegiatan. Apabila kegiatan sekolah berjalan lancar, administrasi tertata rapi, dan kurikulum tuntas selesai dengan mencapai hasil evaluasi (nilai) tinggi, maka orang secara umum mengatakan bahwa sekolah tersebut berhasil dengan baik.
Oleh karenanya, dibutuhkan perubahan sikap baik di kalangan para guru maupun siswa agar dapat menjalin hubungan yang lebih komunikatif, terbuka, dan personal. Dalam hal ini, dialog atau komunikasi dua-arah sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap saling percaya dan saling pengertian. Sekolah tidak boleh lagi menerapkan sistem pendidikan yang hanya memperlakukan siswa atau peserta didik sebagai obyek, sebagai target untuk penyampaian dan pemindahan pengetahuan yang sering kali diabaikan siswa kejiwaannya.
Butuh Dialog
Dalam konteks ini, dialog dapat dipandang sebagai bentuk perjumpaan antar-sesama manusia dalam rangka menamai dan memaknai dunia, untuk membangun kehidupan bersama yang lebih konstruktif, dinamis, kreatif dan sejahtera. Dengan demikian, dialog tidak akan dapat terjadi antara orang-orang yang memang tidak membutuhkan penamaan dan pemaknaan—mereka yang menolak hak orang lain untuk mengatakan kata-katanya sendiri dengan mereka yang haknya untuk mengatakan kata-kata sendiri tidak diakui (Paulo Freire, 1995).
Bentuk dialog yang bebas mungkin merupakan salah satu cara paling efektif untuk memahami krisis yang dihadapi masyarakat sekarang ini, dan sejatinya dihadapi oleh seluruh manusia dan kesadarannya. Lebih jauh, dialog dapat menghasilkan sebentuk pertukaran pelbagai gagasan dan informasi secara bebas yang memiliki relevansi fundamental bagi upaya transformasi budaya dan membebaskannya dari misinformasi yang destruktif, sehingga kreativitas dapat dibebaskan.
Istilah dialog berasal dari bahasa Yunani, dia berarti “melalui” dan logos menunjukkan “kata.” Di sini, “kata” tidak hanya merujuk pada suara-suara atau ucapan-ucapan tertentu, tetapi juga maknanya. Jadi, dialog dapat dimaknai sebagai aliran makna yang bebas (a free flow of meaning) di antara orang-orang yang terlibat dalam komunikasi, sama dengan pengertian arus yang mengalir di antara hulu-hulu sungai.
Dialog berbeda dengan diskusi dan perdebatan. Diskusi, dari sudut pandang etimologis, berarti memisahkan segala hal. Debat berarti mencampur-adukkan segala hal (beat things up). Diskusi mungkin memiliki nilai tersendiri, tetapi ia lebih mirip sebuah permainan, yang tujuan utamanya adalah “kemenangan,” bukan pencarian kebenaran. Diskusi adalah permainan menang-kalah (win-lose game), sedangkan dialog adalah win-win deal.
Dialog sejati merupakan sebuah kekuatan kreatif. Ia merupakan cara yang tepat untuk menciptakan harmoni dan memunculkan kepercayaan serta pemahaman yang akan mentransformasikan sekelompok individu menjadi sebuah organisasi. Tujuannya adalah menciptakan sebuah hubungan baru. Ia merupakan mekanisme yang dapat menjadikan dua tambah dua lebih daripada empat.
Dalam dialog, orang mungkin lebih menyukai pandangan tertentu tetapi ia tidak akan meyakininya secara buta dan kaku. Orang yang terlibat dalam dialog harus siap mendengarkan orang lain dengan simpati yang cukup dan keinginan untuk memahami pandangan orang tersebut secara tepat dan juga siap untuk mengubah pandangannya jika memang ada alasan yang tepat dan masuk akal untuk melakukannya. Jelasnya, semangat niat-baik atau persahabatan diperlukan agar dialog semacam ini dapat terlaksana.
Hal ini akan membawa kita pada ciri mendasar sains yang amat penting, yang juga hadir dalam dialog: kesudian untuk mengakui setiap fakta dan sudut pandang sebagaimana adanya, baik kita menyukainya atau tidak. Padahal, dalam banyak wilayah kehidupan, kita acapkali berupaya menghindari atau tidak bersedia mengakui fakta-fakta dan sudut pandang yang kita anggap tidak menyenangkan dan mengganggu.
Karenanya, sudah saatnya pendidikan mengedepankan aspek dialog untuk dapat menghargai sisi kemanusiaan siswa dan mengembangkannya hingga melahirkan sikap dan tindakan yang juga manusiawi dan memanusiakan. Kreativitas dan inovasi akan lahir dari kebebasan, dan kebebasan hanya akan diperoleh setelah manusia diperlakukan sebagai manusia, sebagai subyek yang dapat menyuarakan pikiran dan perasaannya tanpa ketakutan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar