Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Selasa, 23 Agustus 2011

Jam Belajar Masyarakat (JBM), Nasibmu Kini


Pemberlakuan Jam Belajar Masyarakat (JBM) sesungguhnya merupakan salah satu indikator bagi Yogyakarta sebagai kota pelajar. Namun sayang, indikator yang sangat penting ini mulai memudar seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat DI Yogyakarta. Di banyak tempat di Yogyakarta, pernyataan tertulis penentuan jam belajar bagi masyarakat tinggal tulisan saja. Saat ini, susah didapati sekelompok warga yang masih konsisten menerapkan aturan JBM. Fenomena ini membuat prihatin banyak kalangan, terutama tokoh Yogyakarta yang banyak bergelut membudayakan JBM pada masa-masa awal beberapa puluh tahun yang lalu.
Prof. Edy Suandi Hamid adalah salah satu tokoh pendidikan yang sangat antusias menggagas kembali penerapan program JBM bagi masyarakat Yogyakarta. Prof. Edy mengaku sempat merasakan suasana damai di tengah penerapan program JBM ketika masa-masa awalnya datang ke Yogyakarta. Dengan alasan ini pula semenjak tahun 1990-an, ia sudah aktif mengamati dan memberikan gagasan pengembangan program ini melalui tulisan-tulisan yang terpublikasikan dalam beberapa media cetak.


Prof. Edy menekankan pentingnya pemahaman secara fundamental dan menyeluruh terhadap konsep JBM yang dicetuskan Drs. Wasis Siswanto, dan kemudian diwujudkan melalui SK Gubernur DIY. Fleksibelitas penerapan JBM adalah salah satu poin penting yang dikemukannya melalui pemaparannya itu. Prof. Edy menerangkan bahwa pada JBM yang ditentukan dalam SK tersebut, antara pukul 18.00-21.00, bukan berarti seluruh masyarakat dalam suatu Rukun Tetangga harus belajar pada jam yang telah disepakati tersebut. JBM dalam hal ini merupakan penegasan bahwa masyarakat pada jam tersebut harus menciptakan suasana yang kondusif agar peserta didik dapat belajar dengan tenang dan menjauhkan kegiatan yang kurang mendukungnya.
“Dengan demikian, pola yang dikembangkan sebenarnya tidaklah kaku, melainkan harus fleksibel. Intinya adalah bagaimana menciptakan suasana efektif belajar dalam jangka waktu 2 jam dalam sehari. Dalam konteks keluarga, waktu JBM bahkan tidak harus jam malam seperti ditentukan dalam SK itu. Semua dapat diatur sesuai dengan pertimbangan waktu yang tepat dan disepakati anggota keluarga” katanya menegaskan.
Selain itu, dalam konteks berumah tangga, Prof. Edy menekankan urgensi peran kepala keluarga dalam mengendalikan dan membuat kesepakatan dengan anggota keluarga terkait efektifitas belajar, khususnya bagi anak. Sebagai gambaran, Prof. Edy mengisahkan tentang aturan main yang diterapkannya di keluarganya. Ia mengungkapkan anggota keluarganya telah terbiasa dengan aturan main jam belajar.
“Jika dihitung, keluarga kami bahkan tidak hanya dua jam waktu yang dimanfaatkan untuk belajar, melainkan lebih. Ini karena mereka telah terbiasa. Oleh karena terbiasa, anggota keluarga bahkan dapat menyesuaikan diri dengan kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan. Sehingga, jika diprediksi malam hari akan ada acara lain, maka mereka mengganti jam belajarnya pada sore hari sebelum berangkat ke acara tersebut”, ungkapnya memberi gambaran.
Ketika ditanya tentang dengan implementasi JBM bagi masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan, Prof. Edy merasa agak ragu. Sebab, merujuk pada penerapannya beberapa waktu lalu, penerapan JBM terlihat timbul tenggelam, sehingga tidak efektif. Untuk mengatasi hal ini, menurut Prof. Edy memang harus ada agenda aksi yang melibatkan seluruh lapisan elemen di masyarakat Yogyakarta, dari keluarga hingga perangkat desa. “Ini memang kita wujudkan dalam bentuk agenda aksi. Pengalaman beberapa waktu yang lalu menunjukkan penerapan JBM ini muncul, kemudian hilang lagi”, katanya.
Ada tiga agenda aksi yang diusulkan Prof. Edy sebagai bagian dari upaya mengefektifkan kembali JBM, yaitu upaya melalui dunia maya berupa membuat situs sebagai wadah diskusi dan menggalang dukungan terhadap program JBM, menentukan indikator atau formulasi sukses dalam penerapan JBM sebagai bahan evaluasi, dan mengupayakan lokasi belajar bagi masyarakat, khususnya para pelajar.
“Ketiga hal ini paling tidak sebagai wujud komitmen awal kita untuk menghidupkan budaya JBM di masyarakat. Dengan ketiga hal ini, semua pihak tentu memiliki ruang masing-masing untuk ikut berpartisipasi”, ujarnya mengakhiri pembicaraan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar