Oleh : Cahyadi
Takariawan
Saya,
sebagaimana juga anda dan masyarakat Indonesia pada umumnya, sangat peduli
dengan urusan ketahanan keluarga. Jika saya banyak terlibat dalam pembahasan
mengenai keharmonisan keluarga, itu karena saya sangat yakin bahwa kekuatan
bangsa Indonesia harus dibangun melalui keluarga. Pembentukan karakter bangsa,
harus dimulai dari pembentukan karakter dalam keluarga. Tidak ada karakter yang
bisa dibangun tanpa keharmonisan keluarga.
Apabila
keluarga kita harmonis, ini adalah sumbangan besar terhadap terciptanya
masyarakat, bangsa dan negara yang harmonis. Sebaliknya, apabila ada keluarga
yang berantakan, keluarga yang pecah berkeping, akan memberikan kontribusi
secara negatif terhadap kebaikan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
demikian, menjaga keharmonisan keluarga bukan hanya kepentingan masing-masing
individu anggota keluarga, namun menjadi kepentingan bangsa dan negara. Jika
keluarga berantakan, akan menjadi persoalan yang membebani bangsa dan negara
pula.
Kisah Bogel dari Keluarga Berantakan
Saya menjadi
merinding membaca tulisan mbak Shinta di blog shintaksari.multiply.com tentang kehidupan Bogel si anak jalanan. Bogel
bukanlah anak yang berpendidikan. Ia bahkan tidak mengerti tentang hak anak
ataupun kekerasan terhadap anak ataupun tentang perlindungan anak. Yang dia
tahu, untuk bisa bertahan di jalanan, ia harus membuktikan dirinya hebat. Yang
dia inginkan hanyalah membuktikan pada ayahnya bahwa dia juga bisa marah
seperti sang ayah. Bogel, anak jalanan berusia 20 tahun, perjalanan hidup yang
keras sejak ia duduk di bangku sekolah dasar telah mengajarinya untuk berwatak keras.
Sebuah pelajaran di masa kecil yang tidak dapat dilupakan sampai kapanpun.
”Dari kelas
lima SD, saya jauh dari orang tua. Orang tua saya tinggal di Pademangan, saya
tinggal di Jakarta Barat sama orang lain. Saya ikut tetangga dah kayak saudara.
Dari situ saya mulai badung,” kata Bogel mengawali ceritanya.
Awalnya Bogel
hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya setiap hari bertengkar di depannya.
Saat dia duduk di bangku kelas empat SD, ibunya diusir. ”Saat itulah saya mulai
dendam ama bapak dan emosi saya makin
tinggi dan makin lama makin tambah emosional. Saya cuma mau buktiin kalau saya juga bisa marah.
Apalagi sampai sekarang ibu dan bapak pisah. Bisa dibilang saya belajar
marah-marah ya dari bapak,” tambah Bogel.
”Menurut saya
waktu itu, kalau orang dianggap batu atau keras kepala, orang akan segen sama kita,” kata Bogel. Salah satu
cara untuk pembuktian diri, Bogel yang masih duduk di bangku kelas lima SD ini
memilih bergaul dengan anak-anak SMA dan STM.
”Saya ikut
mereka tawuran apalah, ngebajak
orang, pokoknya bandel,” kata Bogel. Sebuah petualang yang membuat Bogel
dikeluarkan dari sekolah di tahun kedua SMP dan di usia 16 tahun ia harus
merasakan bagaimana hidup di Rumah Tahanan (Rutan) selama 6 bulan dan Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Anak Tangerang selama satu tahun. ”Saya masuk
rutan 6 bulan, masuk lapas setahun karena berantem dan njambret sepeda.”
Demikianlah
dampak dari keluarga yang berantakan. Masa depan anak jadi terabaikan dan
tergadaikan.
Kekerasan Psikologis Terhadap Anak
Menurut Dr.
Seto Mulyadi, anak-anak sekarang banyak yang terperangkap dalam berbagai
situasi sosial yang sangat tidak kondusif. Mereka stres oleh
tekanan-tekanan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat,
hingga memicu perilaku agresif yang seringkali tidak terkontrol. Lingkungan
yang tidak kondusif, tekanan yang berlebihan dan hal-hal yang secara
psikologis menyebabkan anak terluka inilah yang oleh Kak Seto dimaksudkan sebagai
kekerasan psikologis. Bentuknya bisa berupa tudingan, memberikan label
buruk pada anak, ancaman, celaan, tudingan ataupun umpatan,
kata-kata yang kasar, maupun gerakan-gerakan mengancam, membuat anak terluka
hatinya, membuat anak takut, stres dan sebagainya.
Menurut Kak
Seto Mulyadi, Bogel dapat menjadi contoh korban kekerasan psikologi yang tidak
disadari orang tuanya. Secara umum dikatakan bahwa akibat utama kekerasan
psikologis dari orang tua, guru, lingkungan maupun aturan-aturan pemerintah ada
beberapa hal. Pertama model-model kekerasan yang dilihat dan diterima akan
diimitasi oleh si anak Yang kedua adalah rusaknya perkembangan jiwa si anak.
Anak menjadi tidak bisa konsentrasi, anak stress, anak menjadi takut, anak
menjadi termotivasi untuk melakukan tindak kekerasan dan sebagainya.
”Makanya selalu
dikatakan kalau anak melakukan tindak kekerasan terhadap orang
lain, sebaiknya anak tidak hanya diposisikan sebagai terdakwa atau
tertuduh pelaku kriminal, tetapi juga harus diperlakukan sebagai korban. Karena
anak tersebut merupakan korban dari kekerasan yang begitu mewarnai kehidupan
anak-anak sehingga dia tergelincir dan terjebak terpaksa harus berkonflik
dengan hukum,” tegas Kak Seto.
Kenakalan Remaja dan Kenakalan Orang Tua
Jadi kalau ada
istilah kenakalan remaja, maka evaluasi pula orang tuanya. Bisa jadi itu karena
kenakalan orang tua yang diimitasi secara lebih berani oleh anak-anak remaja.
Seorang selebriti mengatakan bahwa dirinya sangat terinspirasi oleh kehidupan
bebas bapak dan ibunya di rumah. Ia sering menyaksikan sang bapak membawa
perempuan lain masuk ke dalam kamar tidurnya. Ia juga sering melihat sang ibu
membawa lelaki lain masuk ke dalam kamar tidurnya. Bapak dan ibu selebriti ini
sepertinya sudah saling membiarkan pasangannya membawa selingkuhan
masing-masing masuk ke dalam kamar.
Perbuatan bapak
dan ibu tersebut merupakan sebentuk kekerasan sikap yang melahirkan luka dan
trauma psikologis bagi anak. Jika orang tua sudah nakal seperti itu, masih
perlukah kita menyalahkan anak-anak remaja? Masih perlukah kita menyebut
istilah kenakalan remaja? Padahal ternyata yang memulai nakal adalah orang
tuanya.
Maka mari kita
kuatkan ketahanan keluarga Indonesia. Kita harmoniskan keluarga Indonesia. Kita
sakinahkan keluarga Indonesia. Niscaya akan lahir masyarakat yang kokoh, bangsa
yang tangguh, dan negara yang kuat. Niscaya lahir peradaban yang bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar