Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Selasa, 19 Juni 2012

Keluarga Berantakan, Masa Depan Anak Tergadaikan


Oleh : Cahyadi Takariawan


Saya, sebagaimana juga anda dan masyarakat Indonesia pada umumnya, sangat peduli dengan urusan ketahanan keluarga. Jika saya banyak terlibat dalam pembahasan mengenai keharmonisan keluarga, itu karena saya sangat yakin bahwa kekuatan bangsa Indonesia harus dibangun melalui keluarga. Pembentukan karakter bangsa, harus dimulai dari pembentukan karakter dalam keluarga. Tidak ada karakter yang bisa dibangun tanpa keharmonisan keluarga.
Apabila keluarga kita harmonis, ini adalah sumbangan besar terhadap terciptanya masyarakat, bangsa dan negara yang harmonis. Sebaliknya, apabila ada keluarga yang berantakan, keluarga yang pecah berkeping, akan memberikan kontribusi secara negatif terhadap kebaikan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian, menjaga keharmonisan keluarga bukan hanya kepentingan masing-masing individu anggota keluarga, namun menjadi kepentingan bangsa dan negara. Jika keluarga berantakan, akan menjadi persoalan yang membebani bangsa dan negara pula.

Kisah Bogel dari Keluarga Berantakan
Saya menjadi merinding membaca tulisan mbak Shinta di blog shintaksari.multiply.com  tentang kehidupan Bogel si anak jalanan. Bogel bukanlah anak yang berpendidikan. Ia bahkan tidak mengerti tentang hak anak ataupun kekerasan terhadap anak ataupun tentang perlindungan anak. Yang dia tahu, untuk bisa bertahan di jalanan, ia harus membuktikan dirinya hebat. Yang dia inginkan hanyalah membuktikan pada ayahnya bahwa dia juga bisa marah seperti sang ayah. Bogel, anak jalanan berusia 20 tahun, perjalanan hidup yang keras sejak ia duduk di bangku sekolah dasar telah mengajarinya untuk berwatak keras. Sebuah pelajaran di masa kecil yang tidak dapat dilupakan sampai kapanpun.
”Dari kelas lima SD, saya jauh dari orang tua. Orang tua saya tinggal di Pademangan, saya tinggal di Jakarta Barat sama orang lain. Saya ikut tetangga dah kayak saudara. Dari situ saya mulai badung,” kata Bogel mengawali ceritanya.
Awalnya Bogel hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya setiap hari bertengkar di depannya. Saat dia duduk di bangku kelas empat SD, ibunya diusir. ”Saat itulah saya mulai dendam ama bapak dan emosi saya makin tinggi dan makin lama makin tambah emosional. Saya cuma mau buktiin kalau saya juga bisa marah. Apalagi sampai sekarang ibu dan bapak pisah. Bisa dibilang saya belajar marah-marah ya dari bapak,” tambah Bogel.
”Menurut saya waktu itu, kalau orang dianggap batu atau keras kepala, orang akan segen sama kita,” kata Bogel. Salah satu cara untuk pembuktian diri, Bogel yang masih duduk di bangku kelas lima SD ini memilih bergaul dengan anak-anak SMA dan STM.
”Saya ikut mereka tawuran apalah, ngebajak orang, pokoknya bandel,” kata Bogel. Sebuah petualang yang membuat Bogel dikeluarkan dari sekolah di tahun kedua SMP dan di usia 16 tahun ia harus merasakan bagaimana hidup di Rumah Tahanan (Rutan) selama 6 bulan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Tangerang selama  satu tahun. ”Saya masuk rutan 6 bulan, masuk lapas setahun karena berantem dan njambret sepeda.”
Demikianlah dampak dari keluarga yang berantakan. Masa depan anak jadi terabaikan dan tergadaikan.
Kekerasan Psikologis Terhadap Anak
Menurut Dr. Seto Mulyadi, anak-anak sekarang banyak yang terperangkap dalam berbagai situasi sosial yang sangat tidak kondusif. Mereka stres oleh tekanan-tekanan  dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat, hingga memicu perilaku agresif yang seringkali tidak terkontrol. Lingkungan yang tidak kondusif, tekanan yang berlebihan dan hal-hal  yang secara psikologis menyebabkan anak terluka inilah yang oleh Kak Seto dimaksudkan sebagai kekerasan psikologis. Bentuknya bisa berupa tudingan, memberikan  label buruk  pada anak, ancaman, celaan, tudingan ataupun umpatan, kata-kata yang kasar, maupun gerakan-gerakan mengancam, membuat anak terluka hatinya, membuat anak takut, stres dan sebagainya.
Menurut Kak Seto Mulyadi, Bogel dapat menjadi contoh korban kekerasan psikologi yang tidak disadari orang tuanya. Secara umum dikatakan bahwa akibat utama kekerasan psikologis dari orang tua, guru, lingkungan maupun aturan-aturan pemerintah ada beberapa hal. Pertama model-model kekerasan yang dilihat dan diterima akan diimitasi oleh si anak Yang kedua adalah rusaknya perkembangan jiwa si anak. Anak menjadi tidak bisa konsentrasi, anak stress, anak menjadi takut, anak menjadi termotivasi untuk melakukan tindak kekerasan dan sebagainya.
”Makanya selalu dikatakan kalau anak melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain,  sebaiknya anak tidak hanya diposisikan sebagai terdakwa atau tertuduh pelaku kriminal, tetapi juga harus diperlakukan sebagai korban. Karena anak tersebut merupakan korban dari kekerasan yang begitu mewarnai kehidupan anak-anak sehingga dia tergelincir dan terjebak terpaksa harus berkonflik dengan hukum,” tegas Kak Seto.
Kenakalan Remaja dan Kenakalan Orang Tua
Jadi kalau ada istilah kenakalan remaja, maka evaluasi pula orang tuanya. Bisa jadi itu karena kenakalan orang tua yang diimitasi secara lebih berani oleh anak-anak remaja. Seorang selebriti mengatakan bahwa dirinya sangat terinspirasi oleh kehidupan bebas bapak dan ibunya di rumah. Ia sering menyaksikan sang bapak membawa perempuan lain masuk ke dalam kamar tidurnya. Ia juga sering melihat sang ibu membawa lelaki lain masuk ke dalam kamar tidurnya. Bapak dan ibu selebriti ini sepertinya sudah saling membiarkan pasangannya membawa selingkuhan masing-masing masuk ke dalam kamar.
Perbuatan bapak dan ibu tersebut merupakan sebentuk kekerasan sikap yang melahirkan luka dan trauma psikologis bagi anak. Jika orang tua sudah nakal seperti itu, masih perlukah kita menyalahkan anak-anak remaja? Masih perlukah kita menyebut istilah kenakalan remaja? Padahal ternyata yang memulai nakal adalah orang tuanya.
Maka mari kita kuatkan ketahanan keluarga Indonesia. Kita harmoniskan keluarga Indonesia. Kita sakinahkan keluarga Indonesia. Niscaya akan lahir masyarakat yang kokoh, bangsa yang tangguh, dan negara yang kuat. Niscaya lahir peradaban yang bermartabat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar