oleh Generation of Knowledge
Ini
kisah nyata seorang bocah laki-laki bernama Zhang Da yang hidup di Provinsi
Zhejiang, Tiongkok. Perhatiannya yang begitu besar kepada papanya, hidupnya
yang pantang menyerah dan mau bekerja sangat keras, membuat Zhang Da yang baru
berumur 10 tahun ini pantas disebut anak luar biasa.
Saking
langkanya seorang anak berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah Tiongkok
menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat, mereka memutuskan untuk menganugerahinya
penghargaan negara. Di Kota Nanjing, awal tahun 2006, Pemerintah Tiongkok
menyiarkan langsung ke seluruh pelosok negeri pemberian penghargaan kepada 10
orang hebat diantara miliaran penduduk Tiongkok, salah satunya adalah Zhang Da.
Zhang
Da ditinggal pergi oleh mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena
miskin dan karena suami yang sakit keras. Sejak itu Zhang Da hidup dengan
seorang papa yang tak mampu bekerja, tak mampu berjalan, dan sakit-sakitan.
Keadaan ini memaksa seorang bocah ingusan untuk mengambil tanggung jawab yang
sangat berat. Ia harus sekolah; ia harus mencari makan untuk papanya dan
dirinya sendiri; ia juga harus memikirkan biaya obat-obatan yang pasti tidak
murah untuknya. Ia masih terlalu belia untuk menjalani beban hidup yang pahit
ini. Tetapi, yang membuat Zhang Da berbeda adalah: ia pantang menyerah.
Hidup
harus terus berjalan, namun bukan dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul
tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Zhang Da memulai
lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dalam perjalanan kaki
dari dan ke sekolah, ia melewati sebuah hutan kecil. Ia makan daun,
biji-bijian, dan buah-buahan yang ditemuinya. Kadang ia menemukan sejenis jamur
atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan seperti it, ia tahu
mana yang bisa diterima oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan.
Sepulang sekolah, siang sampai sore harinya ia bergabung dengan para tukang
batu untuk memecah batu-batu besar. Upah sebagai pemecah batu ia gunakan untuk
membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini dijalaninya
selama lima tahun, tetapi badannya tetap sehat, segar, dan kuat.
Zhang
Da juga merawat papanya yang sakit dengan penuh kasih sayang. Ia memapah
papanya ke kamar kecil; ia menyeka dan sesekali memandikan papanya; ia
berbelanja beras dan membuat bubur. Segala urusan papanya menjadi tugas
sehari-harinya.
Obat
yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan
cara terbaik guna mengatasi semua ini. Ia mulai belajar tentang obat-obatan
melalui sebuah buku bekas yang dibelinya. Bahkan, ia belajar dari seorang
suster cara menyuntik sendiri papanya. Anak lain biasanya bermain menjadi
dokter-dokteran, tetapi Zhang Da tidak melakukannya untuk main-main.
Mungkin
apa yang dilakukan Zhang Da adalah perbuatan nekad. Namun jika kita bisa
memahami kondisinya, harus diakui bahwa Zhang Da adalah anak yang berani,
kreatif, dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang menerpanya. Tugas
menyuntik papanya dilakukannya selama lima tahun, dan ia pun menjadi terampil
dalam menyuntik.
Ketika
mata para pejabat, artis, tokoh masyarakat yang hadir dalam acara
penganugerahan penghargaan tersebut tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara
bertanya, "Zhang Da, bilang saja, kamu mau minta apa, sekolah di mana,
berapa uang yang kamu butuhkan, nanti kamu mau kuliah dimana . . . , sebut
saja! Pokoknya apa saja yang kamu idam-idamkan, tinggal sebut! Lihat, di sini
ada banyak orang yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang
melihat kamu melalui layar televisi. Mereka bisa menolongmu!"
Zhang
Da terdiam, tidak menjawab apa-apa. Pembawa acara berkata lagi kepadanya,
"Bilang saja, mereka pasti mau membantumu!" Beberapa detik Zhang Da
masih membisu, lalu . . . dengan suara bergetar ia pun menjawab, "Aku mau
Mama pulang. Mama, kembalilah ke rumah . . . . Aku bisa membantu Papa; aku bisa
cari makan sendiri. Mama, pulanglah . . . . "
Banyak
sekali hadirin yang menitikkan air mata karena terharu. Tak ada yang menyangka
itulah yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk
pengobatan papanya? Mengapa ia tidak minta uang untuk sekolah dan makan?
Mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Entahlah . .
. . Namun, apa yang dimintanya, pastilah yang paling utama baginya.
"Aku
mau Mama pulang", sebuah pinta yang mungkin sudah dipendam sejak mamanya
meninggalkan dia dan papanya.
Hidup
memang berat, sungguh berat. Rongrongan kemelaratan dan cekaman penyakit seolah
melebur dalam paket kehidupan itu sendiri. Lebih parahnya lagi, hidup
seringkali diperberat oleh ulah pelaku kehidupan itu sendiri.
Ketegaran
dan ketulusan Zhang Da adalah inspirasi menakjubkan bagi siapa saja. Perjuangan
Zhang Da adalah bukti kekokohan batin dan jasmani seorang insan manusia. Entah
kisah ini happy ending atau tidak, namun setidaknya malam berkah itu mengubah
nasibnya secara fisik dan materi. Alam sekitar kita ini masih bisu menyimpan
selaksa kisah derita lainnya, pergelutan abadi umat manusia dalam menahan
terpaan dan gempuran abadi kehidupan. Teruslah kita . . . , berjuang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar