Selamat datang di Balai Belajar Masyarakat....

Balai Belajar Masyarakat (BBM) mengajak belajar dan terus belajar.

Senin, 02 Januari 2012

Tayangan Sadis ‘Game On Line’ Pada Anak-anak

Oleh : Sigit Priyadi



Pernahkah Anda membayangkan bahwa anak laki-laki Anda tumbuh menjadi anak laki-laki yang tega menyiksa binatang atau melakukan kekerasan terhadap teman-temannya? Saya bukan seorang ahli kejiwaan. Namun saya merasa was-was setelah melihat tayangan di sebuah arena penyewaan ‘Game Net’ yang mempertontonkan adegan kekerasan secara vulgar. Adegan pembunuhan dalam ‘game’ itu tampak realistic, yang dimainkan oleh beberapa orang anak kecil seumuran murid SD/ SMP.

Darah yang menyiprat ketika belati disabetkan ke tubuh lawan tampak sangat mengerikan dimata saya. Fakta  perasaan ngeri itu saya alami ketika masuk ke sebuah tempat usaha ‘game on line’ di dekat pertigaan jalan Bugisan dan Sugeng Jeroni, Jogja Selatan.

Saya mungkin tergolong kuna karena tidak pernah melihat perkembangan teknologi ‘game’ yang terus tumbuh subur di arena permainan anak-anak perkotaan. Jujur saja, saya bahkan tidak pernah memainkan ‘game’ apapun semenjak era video game mulai muncul saat saya masih SD di tahun 1970-an, dengan teknologi yang sangat sederhana. 

Tampilan jenis permainannya juga sangat terbatas, misalnya: balap mobil formula dua dimensi, ataupun jenis menembak sasaran. Namun ditengah kemajuan dan kecerdasan anak-anak jaman sekarang, kelihatannya dampak negative kekerasan dalam ‘game on line’ harus dipantau dengan seksama. Ditambah lagi, biasanya saat bermain anak-anak juga mengeluarkan ucapan-ucapan yang bernada mengumpat dengan bahasa yang sangat  kasar. Berarti telah terjadi penjungkirbalikan pendidikan karakter yang sedang mulai dihidupkan dalam pengajaran tingkat sekolah dasar.

Apakah tidak ada aturan yang keras dari pihak berwenang guna membatasi usia pemain ‘game’ di tempat-tempat usaha penyewaan ‘game’ di kota-kota besar? Seharusnya anak-anak ( laki-laki ) diberi perlindungan oleh orang tua dan semua kalangan pemerhati pendidikan, termasuk pemerintah daerah, dari pengaruh buruk tayangan sadis ‘game on line’ yang telah menjadi ‘candu’ bagi anak-anak.


Ketika saya berada di perkampungan dekat rumah saya, di Jogja, saya masih melihat beberapa permainan kuna, seperti mengadu ‘gundu’ atau kelereng yang dimainkan oleh sekelompok anak-anak di sebuah halaman kosong, seperti saat ketika saya masih anak-anak. Bahkan ketika saya melihat serombongan anak-anak tersebut sedang bermain kelereng, sekitar pukul 08.30, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak bersepeda dengan keranjang (’krenjot’ - bahasa Jawa) di boncengan sepedanya, berteriak menawarkan semacam rebana kecil terbuat dari tanah liat dan kertas semen kepada anak-anak kecil lainnya yang sedang asyik berkumpul.

“Dhung-dhung….dhung-dhung…. Sewu…sewu…. Kene padha mrene. Tuku dhung…dhung…. Sewu…sewu…”. (”tabuhan…tabuhan…. Seribu…seribu…. Kesinilah. Belilah tabuhan…. Seribu….seribu…”).

Demikian bapak tua bertopi itu menawarkan barang dagangannya berwujud  ‘tabuhan’ tanah liat, yang diberi harga seribu rupiah per buah. Anehnya, saat saya melihat, anak-anak yang tengah berkumpul tadi langsung tertarik dan berlarian mendekat. Beberapa diantara mereka langsung menyodorkan lembaran uang ribuan membeli mainan tersebut. Sepertinya ada sebuah magnet yang membuat anak-anak itu masih merasa akrab dengan alat musik yang berbunyi monoton, buatan desa Kasongan, Bantul, tersebut.

Dari dua peristiwa  tersebut saya melihat ada dua fakta yang bertolak belakang dari permainan tradisional dan modern di suatu tempat yang tidak terlampau jauh jaraknya, yakni di dusun Dukuh dan pertigaan Bugisan. Keduanya hanya berjarak 300 meteran.  Anak-anak di dusun Dukuh masih setia dengan mainan tradisionalnya, sementara anak-anak di kampong dekat pertigaan Bugisan telah teracuni oleh permainan modern yang mengasingkan diri mereka dari keaslian tradisi budaya setempat.


Semoga para pemilik usaha ‘game on line’ lebih tegas melakukan pengawasan serta bijaksana dalam menyajikan jenis-jenis permainan yang disewakan bagi para konsumennya. Terlebih lagi, dapatkah diterapkan larangan tegas bagi anak-anak usia SD untuk memasuki arena permainan? Janganlah hanya berupa pemasangan aturan: larangan ’siswa berseragam dilarang masuk’. Semoga menjadi perhatian bagi semua kalangan yang masih peduli pada kesehatan jiwa anak-anak.




http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/01/02/tayangan-sadis-game-on-line-pada-anak-anak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar